Pekerjaan bukan sebuah identitas

Apa cita-citamu?

Memasuki usia 25++ adalah hal yang menyenangkan untuk sebagian orang. Buat orang yang beruntung, usia 25++ menjadi titik balik era kebebasan dan kedewasaan. Namun buat beberapa orang lainnya dapat bermakna sebagai titik 0 semua penderitaan dan penyesalan yang terjadi.

Ketika aku memasuki usia 25++, aku merasa ini adalah momen yang tepat ketika pertanyaan "Apa cita-citamu?" diberikan kepadaku.

Setidaknya di usia saat ini aku sudah punya banyak pertimbangan tentang apa cita-citaku, apa yang mau aku lakukan dan bagaimana caraku mendapatkannya.

"aku ingin jadi petani, peternak, tukang gambar…"

Cita-cita yang sederhana bukan? tapi sayangnya aku hidup sebagai WNI hahaha

Aku yakin bukan aku seorang yang merasa hidup di Indonesia kian lama kian berat, baik di hati mau pun di jiwa. Membaca berita, melihat tragedi dan menonton kebodohan akibat ketidakbecusan pemerintah kita membuat aku bertanya-tanya apakah salah jika aku tidak mencintai Indonesia?

Kalau aja aku bisa menikmati dan mencintai Indonesia sisi lain, aku pasti akan hidup di desa, menghilang dari peradaban LinkedIn, menghapus semua akun media sosialku dan bahkan tidak perlu bingung menunggu tanggal gajian tiap bulan.

Sebagai seseorang yang berada di rentang usia produktif tentu saja aku ingin bekerja yang keras, menabung, hidup dengan baik dan layak hingga membangun keluarga. Tapi… untuk apa?

Selama perjalanan karirku, aku sudah dua kali kena lay off. Kali kedua tidak membuatku lebih kuat juga sih, aku masih merasa seperti terombang-ambing di lautan luas tanpa bisa melihat di mana pulau terdekat yang akan menyelamatkanku.

Aku sadar kondisi ekonomi negara dan ekosistem bidang pekerjaanku memang kurang bagus. Istilah kerennya masih musim "tech winter" kali ya? Tapi mau sampai kapan musim dingin ini berlarut-larut.

Mencoba bangkit dan memaksa diri untuk optimis di kondisi sekarang jauh lebih mahal daripada mengikuti filosofi "nrimo ing pandum"

Entah sudah berapa banyak email, lamaran dan pesan yang aku kirim hanya untuk mendapatkan pekerjaan yang "layak".

Sampai di titik ini aku merasa banyak hal yang perlu dikritisi dan dibicarakan secara terbuka tentang proses rekrutmen, khususnya bidangku.

Bagaimana rasanya harus mengerjakan desain tes dengan beban dan memakan waktu yang besar? Tanpa kita tahu apakah kita akan dibayar dengan layak atau tidak.

Tidak ada obrolan formal mau pun non formal antara aku sebagai pencari kerja dengan pihak yang biasa dipanggil HR.

Kapan kita bisa menegur para oknum yang melakukan praktik kurang manusiawi ini?

Tentu akan ada orang-orang yang menganggap bahwa proses rekrutmen seperti itu wajar dan menjadi hak mereka untuk menilai apakah kandidat punya potensi atau tidak. Tapi kita, bahkan aku sebagai kandidat juga perlu tahu dan punya hak untuk menilai apakah waktu dan tenaga kita sepadan dengan keinginan mereka.

Bukannya urusan profesional memang seharusnya banyak perhitungan? Beda halnya kalau aku memang mencari peluang volunteer haha

Aku juga yakin bahwa orang-orang yang punya latar belakang pekerjaan yang mirip denganku pasti sudah tahu yang namanya portfolio mau pun study case. Namun aku jadi bingung, apa gunanya kita punya portfolio dan study case jika kita tidak punya kesempatan untuk memamerkan di saat interview?

Alih-alih berfokus dengan portfolio kita, mereka justru semudah itu memberikan desain tes dengan waktu singkat dan requirements yang tidak ada malunya untuk kita kerjakan secara gratis dan cuma-cuma.

Apakah ini ujung jalan buntu dari karir yang aku inginkan? I don't know…

Lanjut aku mau bahas tentang bagaimana aku mencapai kesimpulan kalau pekerjaan bukan sebuah identitas.

Setiap ada kesempatan untuk memperkenalkan diri sendiri, kebanyakan dari kita akan membawa pekerjaan kita di awal perkenalan. Ketika kita berkenalan dengan orang baru, pasti pertanyaan kerja apa, di mana, sebagai apa pasti muncul di sela-sela ketawa ramah haha-hihi kita.

Ujungnya memang kita akan dinilai layak atau tidak berdasarkan pekerjaan kita, status ekonomi, sampai follower media sosial kita. Aku sudah pernah di titik kehidupan itu, di mana ada rasa kebanggaan ketika aku membawa label pekerjaanku sebagai identitasku.

Aku pikir hal tersebut membawa banyak kebaikan dan positif tapi sayangnya aku salah. Aku merasa bukan sebagai diriku — aku yang sebenarnya, bukan UI/UX Designer seperti di title LinkedIn-ku.

Semua hal menjadi kurang bagus dan aku selalu merasa kurang dengan diriku, karirku sampai pencapaianku. Entah apa yang aku kejar sampai pernah bekerja keras bagai kuda dari pagi hingga malam, sampai aku pernah bermimpi menggerakkan kursor figma di mimpiku.

Semua kebanggaan dan kepuasan diri yang fana itu hilang seketika ketika aku kena surat cinta alias lay off letter hahaha

Aku mulai banyak merenung sambil terus cari pekerjaan untuk saat ini… di sela-sela waktu ini, aku mulai banyak membaca buku kembali, mencoba mengenali diriku yang dulu, mencari jawaban atas dilema yang aku rasakan. Seperti apa diriku saat di masa sekolah, bagaimana kehidupanku saat remaja, apa saja memori indah saat kuliah dan banyak hal lainnya.

Pasti ada identitas dan makna hidup yang lebih berharga untuk aku pegang, selain title pekerjaanku yang saat ini hilang — untuk sementara waktu.

Thank you!

for visiting my playground

Thank you!

for visiting my playground