Menyatu [cerpen 01]
Perihal mencintai, bukankah semua manusia berhak untuk mencintai dan dicintai? bagaimana kalau ada manusia yang ditakdirkan hanya untuk mencintai? apakah hidupnya menjadi tidak bahagia?
Sedari kecil, aku diajarkan bahwa cinta adalah kebahagiaan. Keluarga yang sempurna ada ayah dan ibu serta saudara sedarah. Memiliki kekasih yang penuh perhatian juga menjadi syarat bahagia. Sekolah yang baik dengan nilai yang luar biasa juga menjadi kebahagiaan. Tersenyum dan ikut tertawa ketika ada orang yang melontarkan lelucon. Bahkan semua stasiun tv, dunia film, majalah, novel, serta lagu-lagu tidak lepas dari topik cinta. Cinta menjadi barang yang laku keras. Siapa yang menolak cinta? mereka begitu mengagungkan cinta seakan-akan kita semua hidup atas dasar cinta. Mereka bilang bahwa cinta akan membuat bahagia.
Namun, ketika segalanya hilang dari hidupku, aku merasa tidak utuh. Keluargaku hancur, ayah pergi dengan wanita lain. Ibuku tidak peduli denganku. Saudaraku juga pergi entah kemana. Kekasihku hanya memanfaatkan tubuhku lalu pergi tanpa kabar. Aku merasa duniaku gempa, bergetar hebat. Aku menjadi kehilangan motivasi belajar. Aku dikeluarkan dari sekolahku. Aku tidak sanggup kembali untuk tersenyum. Terasa nyeri sekali di jantungku hingga menjalar ke seluruh tubuhku. Kepalaku sakit. Aku kehilangan segala hal yang harusnya mencintai diriku. Aku kehilangan kebahagiaanku. Aku menjadi lemas dan untuk bernafas saja terasa berat sekali. Aku terseok-seok untuk tetap bertahan hidup dengan tiap tarikan nafas.
Jadi, apakah saat ini aku benar-benar kehilangan kebahagiaanku? segala hal yang mereka bilang cinta sudah hilang dari duniaku. Hanya ada diriku sendiri, sendiri, sendiri…. aku mengulang kata itu di kepalaku. Aku kehilangan cinta. Aku tidak mengerti mengapa semesta begitu kejamnya kepadaku padahal selama ini aku berusaha menjadi yang baik, menurut apa yang menjadi nasihat baik dari orang-orang. Aku lakukan segalanya dengan baik. Aku menjadi apa yang mereka mau bahkan aku tidak tahu apa yang aku inginkan selain membahagiakan mereka. Namun, kenapa mereka begitu kejam padaku? merenggut cinta mereka yang aku berikan seorang diri. Aku sudah berikan segala cintaku kepada mereka. Aku berikan cinta seorang anak yang berbakti pada orang tua. Aku berikan cinta pada saudaraku dengan baik. Aku berikan cinta pada kekasihku, hingga aku berikan segalanya yang ia minta. Sampai akhirnya aku menjadi kosong, tidak ada lagi cinta yang bisa kuberikan pada mereka. Bahkan cinta untuk diriku sendiri saja aku tak miliki.
Aku begitu marah! semua terasa tidak adil kepadaku. Aku berteriak kepada semesta. Persetan! apa ini sebuah lelucon bagiku? bagaimana bisa hidupku menjadi hancur ketika aku melakukan segalanya dengan baik? mana letak salahku? aku maki setiap orang yang menatapku. Aku menjadi penuh kebencian. Aku menjadi racun bagi sekitarku. Biarlah, aku sudah tidak memiliki apa pun lagi untuk aku merasa kehilangan lagi. Aku sudah tidak memiliki apa apa lagi. Aku tidak takut kehilangan kembali.
Namun, aku masih belum kehilangan satu hal. Aku masih memiliki ragaku dan jiwaku. Satu-satunya yang tidak akan bisa diambil oleh semesta tanpa seizinku. Aku masih dendam dengan semesta dan segala garis takdir yang ia berikan padaku. Sebelum semesta mengambil ragaku, akulah yang lebih dahulu merenggutnya. Aku lemparkan ragaku ke tanah bumi ini. Biarlah semesta menyaksikanku menyatu dengan tanah. Biarlah darahku mengalir, meracuni tanah bumi dan semesta akan menatap getir.