Suami Istri [cerpen 02]
Di penghujung bulan Januari, seorang suami sedang menunggu istrinya pulang ke rumah. Hari itu turun hujan lebat, sedari pagi hingga sore belum ada tanda-tanda kepulangan istrinya. Sang suami masih sabar menunggu, sembari membersihkan debu-debu di perabotan rumahnya. Suasana ruang tamu, teras, kamar tidur, semuanya nampak lenggang. Hanya ada beberapa kucing yang sering mampir ke rumah mereka.
Jam menunjukkan pukul 9 malam. Sang suami menjadi was-was. Ia merasa khawatir di mana istrinya. Kenapa sampai jam segini belum pulang? Apakah terjadi sesuatu pada istrinya? Apakah istrinya sedang marah kepadanya?
Ada banyak pertanyaan yang mengganggu pikirannya.
Memori terakhir yang ia ingat adalah, kemarin malam ia dan istrinya bertengkar hebat. Sang istri menuduh suaminya selingkuh dengan teman lamanya, tentu saja sang suami tidak terima. Sang suami balik menuduh istrinya sudah tidak mencintai dirinya lagi, dan lebih memilih karirnya daripada tugasnya menjadi istri. Hampir seluruh piring di dapur pecah, hanya piring souvenir pernikahan mereka yang masih utuh.
Suami istri tersebut saling teriak, saling menyalahkan satu sama lain. Tidak ada tanda-tanda mereka akan mengalah.
“Andai kamu tidak mandul, aku pasti lebih bahagia!” teriak sang suami dengan tangan mengepal.
“Aku tidak ingin punya anak! Kalau kau bahagia karena punya anak, adopsi saja anak dari panti asuhan!” balas sang istri.
“Kau kira adopsi anak semudah adopsi anak kucing? Hah?!” Kata suami tak mau mengalah.
Selanjutnya, sang suami tidak bisa mengingat lagi. Ia lupa apa yang terjadi setelah kejadian kemarin malam. Seperti lembaran buku yang sobek, ia merasa pusing sekali mencoba mengingat kembali potongan kejadian tersebut.
Sang suami terbangun keesokan harinya, ia tertidur di sofa ruang tamu. Berharap sang istri sudah sampai rumah, ia berlari ke dapur. Sang istri sedang memasak tumis kangkung, masakan favorit suaminya. Sang suami segera memeluk dari belakang, pelukan yang amat erat, seakan ia tidak mau lagi kehilangan belahan jiwanya.
“Tidak apa-apa kalau kamu tidak ingin punya anak. Aku mengerti perasaanmu,” bisik suami lirih.
Sepasang suami istri sarapan dengan satu-satunya piring yang masih tersisa di dapur mereka. Piring souvenir pernikahan mereka.
“Untung masih ada piring ini,” kata suami.
“Aku tidak salah memilih piring plastik sebagai souvenir kita.” balas istri.
Mereka kembali berdamai dengan sepiring tumis kangkung dan nasi hangat. Bercanda dan bermesraan, seakan kejadian semalam hanyalah batu kerikil perjalanan hidup pernikahan mereka.
“Semoga pernikahan kita awet serupa piring plastik ini, sayang.” kata suami.
“Iya, dan semoga kepalamu juga seperti piring plastik ini.” balas sang istri sembari tersenyum lebar.